Senin, 25 Februari 2013

Sebuah Pagi di Orchard Road

Matahari masih mengintip malu-malu ketika Aku sudah berdiri di depan sebuah Apartement di Orchard Road.
Aku menyadari terlalu pagi untuk keluar rumah dan menapakan kaki ini jalan yang begitu melegenda sebagai surga belanja di negeri Singa.
Tapi aku punya sebuah kalimat : “Jangan pernah mengaku ke Singapura jika belum menyambangi Orchard Road.”
Sejenak Aku  melirik jam tanganku yg menunjukan , pukul 06.30.
Terlalu dini bagi tempat perbelanjaan modern itu untuk menunjukkan denyut aktivitasnya.
Sebagian besar gedung-gedung masih tutup, namun beberapa orang sudah menjejaki trotoar dengan langkah-langkah tergesa. Mungkin mereka diburu waktu lantaran kerja pagi yang tak mengenal toleransi keterlambatan. Sementara di ujung sana sebagian manusia masih terlihat duduk-duduk santai menyeruput kopi hangat di kursi-kursi sepanjang jalur pedestrian.
Hari ini adalah hari dimana orang-orang beraktifitas, tak lama lagi trotoar akan dipadati para pekerja kantoran , dan yang Menuntut ilmu Tak ubahnya protokol ibukota, pastilah jalan yang tak lebar ini bakal pula disesaki mobil pribadi dan angkutan umum.
Tak usah khawatir karena tak ada three in one layaknya Jakarta. Juga tak perlu takut dengan polusi kendaraan karena bahan bakar mereka yang sangat rendah polutan.
Aku mencoba mencari satu kursi kosong di depan Lucky Plaza, Di bawah rerindang pohon peneduh,  membuka makanan yang Aku beli di Seven Eleven, dan seperti yang lainnya, kunikmati sarapan ringan. Sesekali kulihat rombongan orang melintas yang saya yakin betul pasti dari Indonesia, tentunya dari bahasa dan logatnya yang khas.
Mereka pastilah golongan menengah atas dari negeri kita yang sedang menikmati liburannya. Mudah-mudahan mereka bukanlah para buronan koruptor Indonesia yang tinggal di sini demi sebuah perlindungan dan menikmati hartanya.
Pagi yang demikian cerah. Saya membayangkan belantara beton di Orchard tak beda dengan seruas jalan di protokol Jakarta seperti Thamrin dan Sudirman. Namun Pemerintah Kota Singapura sanggup menyulapnya dengan menambahkan jalur pejalan kaki yang nyaman, tempat duduk buat bersantai dan melepas lelah, dan dinaungi pohon-pohon rindang serta beberapa taman yang menyejukkan.
Saya menghirup nafas panjang, begitu segarnya udara pagi ini

Sejenak Aku berdiri dari kursi, menengok ke kiri dan ke kanan, sekedar mencari apakah ada sesosok wajah yang Aku kenal. Mendadak Aku sadar, ini adalah jalan yang ada di negeri Orang
Pastilah hanya wajah-wajah asing yang akan Aku temui di sini.
Tentunya Orchard Road bukanlah Jalan Sudirman di Jakarta di mana setiap pagi selalu dipadati orang dan kendaraan ketika jam kantor tiba.
Dan pasti juga berbeda dengan sepanjang Jalan Dago yang sarat kenangan ketika aku menghabiskan senja sewaktu di Bandung.
Padahal ratusan tahun yang lalu Orchard hanyalah sepenggal jalan di daerah perkebunan pala, lada, dan buah-buahan. Karenanya jalan itu dinamai Orchard Road (orchard = perkebunan).
Barangkali tak ada yang membayangkan kalau perkebunan ini nantinya menjadi ikon bisnis dari sebuah negara yang berpengaruh secara ekonomi di kawasan Asia.
Sebab pembangunan secara komersial barulah dimulai di abad keduapuluh selepas tahun 1970.
Matahari pagi menerobos dedaunan peneduh Jalan Orchard dengan sinarnya yang lembut dan  jatuh tepat di wajahku. Sesaat Aku tengadah meresapi kehangatan awal hari.
Inikah kehangatan khas Orchard yang beraroma modern? Perasaan Aku sungguh asing ditemani wajah-wajah yang diam.
Juga bangunan-bangunan mencakar langit yang terlihat angkuh dan sombong.
Adakah yang akan menyapa Aku di sini?
Sendiri Aku menyusuri Orchard. Tak kutemukan kebisingan dari knalpot mobil yang memekakkan telinga, atau teriakan kenek bis kota, metro mini, mikrolet, dan angkot yang berebut penumpang.
Juga tak ada teriakan sumpah serapah pengemudi mobil yang diserobot jalannya oleh Kopaja. Tiada pula bising klakson yang  ditekan terus menerus lantaran angkot yang ngetem sembarangan.
Di sini segalanya hidup dalam keteraturan yang nyaman.
Seorang sahabat pernah bertanya ke Aku, “Bagaimana membedakan orang Indonesia di luar negeri?”
Saat itu Aku hanya menggelengkan kepala.
“Gampang,” jawabnya. “Lihat saja di antrian, jika ada yang nyerobot antrian, pastilah itu orang Indonesia.”
Aku tertawa sendirian , karena ingat dengan jawaban sahabat.
“Terus kalau tiba-tiba dari antrian itu ada yang teriak, ‘Woi… antri… woi..’, itu pasti juga orang Indonesia,” lanjut kelakar sahabat.
Barangkali pada ruas jalan ini orang Indonesia bisa belajar tertib. Mereka rela antri menanti taksi, sabar menunggu lampu hijau untuk menyeberang jalan, juga sadar membuang sampah pada tempatnya.
Saya berpikir kenapa orang Indonesia mendadak bisa tertib apabila berada di Singapura? Pastilah karena di sini punya aturan yang keras dan penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu.
Lalu bagaimana dengan negeri kita?
Silakan, Kamu pasti bisa menjawabnya.